Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemerhati Masalah Laut Timor Ferdi Tanoni

Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni, kembali meminta pemerintah dan rakyat yang menjadi korban pencemaran harus berkolaborasi menuntut ganti rugi dan meminta pertanggungjawaban operator ladang minyak Montara PTTEP Australasia dan Pemerintah Federal Australia.

"Ini sebuah pelecehan dan penghinaan terhadap bangsa Indonesia, jika kasus pencemaran tersebut terus dibiarkan tanpa adanya upaya untuk menuntut ganti rugi dan meminta pertanggungjawaban dari perusahaan pencemar dan pemerintahan PM Australia Julia Gilard," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Senin (5/3/2012).

Pencemaran minyak di Laut Timor terjadi akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat yang mengakibatkan 90 persen wilayah perairan Laut Timor yang menjadi ladang kehidupan para nelayan tradisional Indonesia tercemar.

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) ini menambahkan, Pemerintah Indonesia perlu berkolaborasi dengan masyarakat korban pencemaran di Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur, Rote Ndao, Sawu, Alor, Lembata, Flores, dan Sumba, untuk menuntut pertanggungjawaban dari operator ladang minyak dan gas Montara PTTEP Australasia dan Pemerintah Federal Australia atas kasus tersebut.

Penulis buku "Skandal Laut Timor Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" ini kemudian membandingkan dan memuji Pemerintah Amerika Sertikat yang berhasil memaksa perusahaan minyak British Petroleum (BP) untuk membayar ganti rugi terhadap 100.000 orang nelayan dan masyarakat pesisir termasuk biaya kesehatan akibat tumpahan minyak di Teluk Meksiko.

Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini mengatakan, tumpahan minyak Teluk Meksiko dari anjungan pengeboran Deepwater Horizon, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memutuskan akan terus melanjutkan gugatan terhadap British Petroleum (BP).

Walaupun sebelumnya, kata dia, BP pada Jumat (2/3/2012) telah menyepakati pembayaran kompensasi sebesar 7,8 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 71 triliun.

Menurut BP, nilai nominal tersebut merupakan satu bagian penyelesaian dalam kasus ini dan mengharapkan uang tersebut diambil dari dana kompensasi 20 miliar dollar atau setara dengan Rp 180 triliun yang telah disiapkan sebelumnya.

Namun, menurut Departemen Kehakiman AS, pembayaran ganti rugi itu tidak terkait dengan kerusakan lingkungan yang dialami kawasan yang terimbas tumpahan minyak mentah.

Pemerintah negara bagian di kawasan yang terpengaruh dan sejumlah perusahaan pengeboran adalah sebagian dari kelompok yang menginginkan gugatan hukum terhadap BP berlanjut.

Mengacu pada kasus Teluk Meksiko, Tanoni berpendapat Pemerintah Indonesia seharusnya mendengar seruan YPTB sejak awal, baik melalui surat tertulis maupun pemberitaan di berbagai media dalam dan luar negeri, bukannya mendiamkan masalah ini tanpa ada pertanggungjawaban dan membiarkan rakyat di pesisir NTT menderita berkepanjangan.

"Jangankan menuntut ganti rugi dari PTTEP Australasia dan Pemerintah Federal Australia, menanggulangi dan mencegah penyebaran tumpahan minyak di Laut Timor saja tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia," katanya menegaskan.

Bahkan, tambah Tanoni, PTTEP Australasia dengan seenaknya menggunakan oknum-oknum dari LPEM-UI dan IPB Bogor untuk melegitimasi pendapat mereka bahwa tumpahan minyak Montara tidak berdampak sama sekali terhadap kehidupan masyarakat di Timor Barat NTT.

Ia mengungkapkan, operator ladang Montara PTTEP Australasia, Pemerintah Australia, dan Thailand, saat ini sedang menertawakan bangsa Indonesia akibat kelemahan oknum pejabat dari Jakarta yang sangat mudah diadu dengan masyarakat korban guna menutupi petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor.

"Saya bersama YPTB dan jaringan serta aliansinya tidak pernah akan tinggal diam hingga petaka Montara di laut Timor ini diselesaikan dengan benar dan adil, baik itu melalui negosiasi atau pemaksaan melalui pengadilan di Australia maupun pengadilan internasional," demikian Ferdi Tanoni.