Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia kecolongan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kecolongan. Publikasi hasil kerjasama riset dengan peneliti asing di jurnal internasional tidak mencantumkan nama peneliti LIPI. Publikasi hasil riset yang dimaksud adalah penemuan spesies sekaligus genus tawon baru Megalara garuda. Hasil penemuan dimuat di jurnal Zookeys, Jumat (23/3/2012).

Tawon baru tersebut dikoleksi lewat ekspedisi Mekongga di Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu. Tawon baru itu dijuluki raja tawon karena memiliki rahang besar yang melebihi panjang kaki depannya. Adapun nama peneliti serangga LIPI yang harusnya dimasukkan adalah Rosichon Ubaidillah. Ia dikenal sebagai peneliti serangga dengan spesialisasi serangga parasitoid.

Publikasi ilmiah di jurnal internasional hanya mencantumkan nama Lynn S Kimsey dari University of California, Davis, Amerika Serikat, dan Michael Ohl dari Museum fur Naturkunde, Jerman. Rosichon yang dihubungi Kompas.com, Selasa (3/4/2012) mengatakan, "Ini kita betul-betul kecolongan. Saya dan kita dari LIPI betul-betul kecewa dan marah juga."

Pencantuman nama peneliti LIPI dalam kolaborasi sebenarnya adalah bagian dari Memorandum of Understanding (MoU) yang telah disusun, bahwa kolaborasi yang dimaksud adalah penelitian dan publikasi. Dalam etika kolaborasi penelitian, hal seperti ini semestinya tidak boleh diabaikan oleh Kimsey. Nampaknya Kimsey mengabaikan hal ini," imbuh Rosichon.

Rosichon menceritakan, sejak awal koleksi, dirinya sudah mengetahui bahwa tawon yang dimaksud merupakan spesies baru. Spesimen dibawa pulang dari ekspedisi untuk dipelajari lebih lanjut. Namun, Kimsey meminta spesimen tersebut karena ingin mempelajarinya. Ia kemudian membawa spesimen ke universitasnya. LIPI memberi ijin karena penelitain didasarkan atas asas kepercayaan.

Dalam sebuah kesempatan seminar, Rosichon datang menemui Kimsey di universitasnya. Ia menawarkan bantuan dalam identifikasi spesies sekaligus keterlibatan dalam prosesnya. Tapi Kimsey mengatakan tidak perlu. Saya pikir memang kita berlandaskan kepercayaan, jadi ya saya ijinkan. Tapi malah justru kita kecolongan," terang Rosichon.

Menurut Rosgichon, kecolongan publikasi khusus spesies ini sudah yang kedua kalinya. Pertama saat tawon garuda ini dipublikasikan di media massa di Eropa dan Amerika. Kedua, saat publikasi resmi di jurnal ilmiah. Rosichon menuturkan, "Ini pertama kali saya kecolongan. Sebelumnya saya juga pernah bekerjasama dengan peneliti internasional, tapi tidak seperti ini."

Kecolongan ini punya dua kerugian. Peneliti Indonesia kehilangan kesempatan untuk menunjukkan peran di mata internasional. Rosichon juga merugi karena sebenarnya dirinyalah yang memberi nama "garuda". Rosichon telah mengungkapkan kekecewaannya pada Kimsey. Ia juga melayangkan surat ke penanggungjawab kerjasama di University of California, Davis. Menurut Rosichon, Kimsey sudah meminta maaf.

Rosichon menuturkan, "Sekarang Kementerian Ristek juga harus mulai selektif dalam memilih counterpart kerjasama. Kalau perlu UC Davis ini di-blacklist. Menanggapi kekecewaan LIPI, Kimsey yang ditemui dalam diskusi di @America hari ini mengatakan bahwa tak adanya nama peneliti Indonesia dalam publikasi ialah karena tak adanya ahli yang sesuai.

"Saya seharusnya memasukkan satu nama dari LIPI dalam publikasi itu. Tapi masalahnya tak ada yang memiliki bidang yang sesuai. Indonesia tidak memilihi ahli di bidang stinging wasps," jelas Kimsey. Ini masalah di komunitas ilmuwan bahwa ketika Anda muncul di paper ilmiah, orang berharap Anda adalah expert. Rosichon adalah orang yang paling sesuai, tapi dia tidak comfortable dengan itu," tambahnya.

Rosichon sendiri mengungkapkan bahwa permasalahannya bukan soal spesialisasi. Pencantuman nama peneliti Indonesia adalah etika dalam kerjasama tersebut. Peristiwa ini, kata Rosichon, adalah pelajaran bagi Indonesia. Ini menjadi pukulan bagi Indonesia sehingga pemerintah dan masyarakat harus lebih peduli pada keanekaragaman hayati dan penelitinya.