Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebijakan Penghapusan Subsidi

Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pilihan kebijakan yang paling dapat diterima publik adalah kebijakan penghapusan subsidi bertahap dengan realokasi untuk program vaksinasi anak atau pengembangan sarana transportasi massal.

Suara publik penting didengar karena selama ini pemerintah membuat kebijakan Bahan Bakar Minyak atau BBM bersubsidi secara sepihak tanpa mendengar keinginan masyarakat yang terkena dampaknya.

Demikian hasil Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB), Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti disampaikan ketua tim penelitinya, Rimawan Pradiptyo, di Yogjakarta, Senin (5/3/2012).

Menurut Rimawan, pilihan yang paling tidak dapat diterima publik adalah kebijakan penghapusan subsidi langsung dengan realokasi untuk pembayaran utang pemerintah dan program pemerintah lainnya (alokasi non-spesifik atau non-earmarked).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak memiliki kendaraan bermotor, ternyata lebih 'berani' mengambil opsi penghapusan subsidi BBM secara langsung. Hal ini bisa difahami karena bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan bermotor, penghapusan subsidi BBM tidak berdampak langsung kepada mereka.

"Skema penghapusan subsidi BBM tidak terkait dengan subsidi minyak tanah, seperti di tahun 2005 dan 2008, sehingga dampak langsung ke rumah tangga yang tidak memiliki kendaraan bermotor cenderung minimum," ujar Rimawan.

UGM meneliti respon 335 orang yang menjadi sampel eksperimen dalam penelitian ini karena termotivasi oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan subsidi BBM, seperti yang terjadi pada tahun 2011.

Ke-335 orang itu dibagi atas tiga kelompok, yakni orang yang tidak memiliki kendaraan bermotor, memiliki motor, dan memiliki mobil. "Kami menilai keraguan pemerintah tentang subsidi BBM pada 2011 lebih disebabkan kentalnya nuansa politik pencitraan. Jika masalahnya adalah pencitraan, idealnya pemerintah bertanya kepada masyarakat. Karena pemerintah tidak bertanya kepada masyarakat, maka kami melakukan penelitian ini," ujar Rismawan.

Subsidi BBM telah melampaui batas kewajarannya, terutama pada tahun 2011. Pemerintah menetapkan subsidi BBM sebesar Rp 129,7 triliun pada APBN Perubahan 2011 namun realisasinya mencapai Rp 160 triliun, meningkat sebesar 23,4 persen.

Jika konsumsi bensin rata-rata per minggu untuk pengendara motor adalah 4-5 liter per minggu, maka untuk pemilik mobil rata-rata adalah 30-40 liter per minggu. Jika keduanya menggunakan BBM bersubsidi, maka subsidi pemilik mobil adalah 6-8 kali lipat daripada pemilik motor. Sebanyak 40 persen rumah tangga kaya menikmati 70 persen subsidi BBM.