Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Celoteh Pak Raden

”Aduuuh… maaf, encok saya kambuh. Saya tidak bisa ikut. Lain kali saja ya, Nak,” kata Pak Raden kepada Si Unyil dan teman-temannya sambil membungkukkan badan dan tangan memegang pinggangnya yang encok.

Masih ingat adegan Pak Raden dalam film Si Unyil saat ia diajak kerja bakti?

Saat media massa mengunjungi rumahnya di Jalan Petamburan III Nomor 27, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (16/4) siang, Suyadi—yang lebih populer dipanggil Pak Raden—pun beralasan, ”Aduuuh, Mas… encok saya kambuh. Encok itu bahasa lain dari osteoporosis. Jadi, lain kali saja, ya?”

Ia beralasan, sudah beberapa hari ini kurang tidur karena terus melayani permintaan wawancara wartawan setelah ia memperkarakan soal hak cipta Si Unyil. ”Saya belum istirahat sejak subuh. Ini pun baru pulang dari dua stasiun televisi swasta,” tuturnya.

Namun, bagaimana kalau Pak Raden bercerita tentang lukisan-lukisan karya Pak Raden saja? Lukisan di ujung dinding itu, misalnya, Pak Raden?

”Ho-ho-ho… itu lukisan saya tentang lahirnya Gatotkaca. Dalam lukisan tersebut tampak Gatotkaca yang baru saja muncul dari Kawah Candradimuka, dikeroyok pasukan raksasa Patih Sekipu dari Kerajaan Imo Imantoko,” cerita Pak Raden bersemangat.

Ia lupa akan encoknya. Pak Raden pun bercerita tentang siapa Gatotkaca yang adalah idolanya saat kecil. ”Hanya ada satu kemungkinan saat seseorang masuk Kawah Candradimuka. Hancur lebur atau bangkit menjadi manusia baru yang sakti mandraguna. Kawah Candradimuka itu seperti pahit getirnya kehidupan. Hanya orang yang mampu belajar dan melewati pahit getirnya kehidupan yang bisa menjadi orang yang unggul seperti Gatotkaca,” ujar Pak Raden.

Tanpa dikomando, lulusan Institut Teknologi Bandung (1952-1960) itu lalu menjelaskan lukisan yang ada di sebelahnya. ”Nah, lukisan saya berikutnya tentang perang kembang Bambangan-Cakil (pertikaian antara Arjuna dan raksasa Cakil). Apa pun lakon wayangnya, selalu ada adegan perang kembang dan adegan goro-goro (babak humor tampilnya Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong),” tuturnya.

Tak terasa, sudut bibir pria kelahiran Puger, Jember, Jawa Timur, 28 November 1932, itu mulai berbusa saat menceritakan lukisan berikutnya yang bertema kisah cinta Pranacitra-Rara Mendut yang bak kisah cinta Romeo dan Juliet. Dalam lukisan itu Pak Raden menggambar Rara Mendut menghunus keris ke tubuhnya di depan jenazah sang kekasih, Pranacitra.

”Lukisan ini tidak akan saya jual kecuali kondisi kepepet banget,” ucap anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Sambil menunjuk ke lukisan perkelahian antara Srikandhi dan Mustokoweni, Pak Raden menjelaskan tentang kesulitannya saat melukis Srikandhi hendak memanah Mustokoweni. ”Kalau posisi seorang pria memanah itu jelas. Namun, kalau dalam budaya Jawa, posisi memanah seorang perempuan lebih sulit digambarkan. Gara-gara ini, lukisan itu saya selesaikan sekitar dua bulan,” ujarnya.

Pak Raden lalu beralih ke lukisan berikutnya, lukisan tentang suasana di ruang rias perempuan dari sela pintu. Ia mengatakan, ruang rias ini adalah bagian dari bangunan pertunjukan wayang orang Tritunggal di Kosambi, Bandung, Jawa Barat, yang terletak di gang sempit.

”Kalau banjir, mereka tidak bisa tampil karena bangunannya terendam air. Para penari berias di ruang itu dengan penerangan lampu minyak,” kata pria yang pernah belajar animasi di Perancis pada 1961-1963 itu.

Tiba-tiba Pak Raden terdiam. Kedua matanya berkaca-kaca. Setitik air keluar dari sudut kelopak kiri mata Pak Raden. ”Sedih saya kalau mengingat betapa terseok-seoknya nasib para pejuang budaya adiluhung itu,” ucapnya pendek.

Pak Raden pun mengaku, semua lukisan tentang pertunjukan wayang orang itu bersumber pada pengalamannya melihat keseharian di sekitar bangunan pertunjukan wayang Tritunggal di Kosambi.

Dengan tangan kiri bergetar, ia lalu menunjuk lukisan karyanya tentang ”Sinta Obong”. Lukisan itu mengambil sudut dari balik panggung sebelah kiri.

Saat Sinta kembali diboyong menghadap Rama, menurut Pak Raden, Rama mungkuri (membalikkan badan, membelakangi) Sinta yang bersimpuh di hadapan Rama. Melihat hal itu, Sinta menangis. Dengan posisi masih membelakangi Sinta, Rama berkata, ”Kalau kamu memang masih suci, kamu harus keramas (mencuci rambut) dengan api.”

Dengan hati terpukul, Sinta lari melompat ke dalam api. ”Duh… sedihnya cerita ini. Berat, ya, jadi seorang istri dari pria Jawa,” kata Pak Raden. Ia diam dan menunduk. Matanya kembali berkaca-kaca.

Bagaimana tentang beberapa gender dan slenthem di rumah ini, Pak Suyadi? Dengan malas Pak Raden menjawab, ”Itu sudah masa lalu saya. Saya berhenti belajar menabuh gender dan slenthem setelah guru karawitan saya meninggal.”

Rencana pameran

Rumah kontrakan Suyadi yang tampak kusam terdiri dari dua kamar, satu studio di bagian depan, dapur, dan peturasan. Di dapur, di dua rak tembok tampak koleksi boneka Si Unyil dan dunianya. Rak terdiri dari dua lembar papan dan ditutup plastik. Saat plastik dibuka, boneka-boneka itu amat berdebu.

Di studio, tampak beberapa lukisan. Sebagian lukisan masih sketsa. ”Saya sudah menyelesaikan 20 lukisan, drawing, serta sketsa baru bertema anak-anak dan permainan tradisional. Saya masih harus membuat 40 karya lagi,” ungkap Pak Raden. Rencananya, ke-60 karya itu dipamerkan di Galeri Nasional, menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2012.

Sore itu, saat Seto Mulyadi dari Komisi Nasional Perlindungan Anak datang, ”Ho-ho-ho… encok saya kambuh lagi, Mas. Sudah dulu, ya?” kata Pak Raden sambil tertawa lebar dan menemui Seto Mulyadi.